Membiasakan anak "bersedekah" dengan uang titipan orangtua tidak
dengan sendirinya menjadikan anak-anak itu peka hatinya, tumbuh empatinya dan
memiliki kemauan menyisihkan dari hartanya sendiri untuk sedekah atau amal
shalih lainnya. Anak memerlukan pengalaman berkorban, yakni benar-benar
mengeluarkan harta miliknya meskipun berupa uang saku dan bukan sekedar menjadi
pembawa sedekah orangtua yang disalurkan lewat sekolah saat ada mobilisasi dana
kepedulian ummat.
Pengalaman pun tidak cukup. Benar bahwa anak
perlu mengalami sendiri, tetapi sekedar pengalaman tak cukup untuk menguatkan
kepedulian dan kesediaan berkorban. Harus ada landasan yang kokoh berupa
keyakinan terhadap agama. Ringan disebut, tetapi sungguh hanya iman yang mudah
menggerakkan jiwa untuk berbuat tanpa menunggu ada yang mendesaknya beramal.
Empati juga memudahkan anak berbagi tanpa menunggu
berlebih. Jika empatinya kuat, ada bahkan dapat menyisihkan uang saku
berhari-hari agar dapat memberi dan menolong orang lain. Empati kepada orang
lain serta empati kepada keluarga terdekatnya. Di antara hal yang memudahkan
tumbuhnya empati kepada orangtua dan saudara-saudaranya adalah suasana keluarga
yang bersahabat, adil dan saling merindukan.
Eratnya hubungan emosi antara
anak dan keluarga tumbuh dari pengasuhan yang senantiasa menegakkan hilm
(kelembutan beriring ketenangan) serta anah (kesanggupan menahan diri tidak
bertindak kecuali setelah jelas segala sesuatunya). Penguat empati lainnya
adalah keterlibatan anak dalam pekerjaan rumah-tangga, meskipun hanya soal
melipat merapikan pakaiannya sendiri maupun menyiapkan makan malamnya atau
makan malam untuk keluarga yang sedang tidak sehat.
Sangat mengharukan mendapati anak-anak yang segera
tanggap ketika mendapati orangtua kurang sehat, meski mereka masih amat belia.
Usia belum lagi 10 tahun. Trenyuh ketika anak usia 8 tahun menyisihkan uang
sakunya demi membeli bingkisan untuk sahabatnya yang beberapa hari tidak masuk
sekolah karena sakit. Sebagaimana teduh mendengar anak menawari menyiapkan
makan siang saat ada kegiatan di luar rumah. Masakan seadanya dari anak yang
masih SD rasanya lebih nikmat dibanding sajian di rumah makan.
*Mohammad
Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Pakar Parenting
0 Komentar